Tren Korupsi Pengelolaan Keuangan Desa di Provinsi Lampung

oleh -593 Dilihat

Laksamana.id // Lampung
SEJAK diperkenalkan pada 2014, program Dana Desa diharapkan menjadi instrumen kebijakan yang revolusioner untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antarwilayah di Indonesia. Dengan alokasi dana yang signifikan sejak 2015 hingga 2024, pemerintah telah menggelontorkan lebih dari Rp 400 triliun program ini bertujuan mempercepat pembangunan infrastruktur, meningkatkan kesejahteraan, dan mengurangi kemiskinan di tingkat desa.

Namun, setelah satu dekade berlalu, muncul pertanyaan kritis: apakah dana tersebut benar-benar mencapai tujuan mulianya, ataukah janji-janji tersebut terkikis oleh korupsi dan birokrasi yang merajalela?

Ketika Dana Desa pertama kali diluncurkan, banyak yang optimistis bahwa ini adalah langkah revolusioner untuk memperkuat pembangunan desa. Pada 2015, alokasi awal sebesar Rp 20,76 triliun diberikan kepada lebih dari 74.000 desa di seluruh Indonesia.

Alokasi ini terus meningkat setiap tahunnya, dengan jumlah mencapai Rp 72 triliun pada tahun 2022 dan sedikit berkurang menjadi Rp 68 triliun pada 2024, akibat penyesuaian anggaran negara.

Dana Desa difokuskan pada tiga pilar utama: pembangunan infrastruktur, pengembangan ekonomi desa, dan pemberdayaan masyarakat. Data dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menunjukkan bahwa selama satu dekade, Dana Desa telah digunakan untuk membangun lebih dari 200.000 kilometer jalan desa, 1.200 jembatan, 22.000 unit sarana air bersih, dan ribuan fasilitas kesehatan serta pendidikan. Selain itu, program ini telah menciptakan lebih dari 4,2 juta lapangan kerja di pedesaan.

Namun, di balik pencapaian tersebut, terdapat realitas pahit yang sulit diabaikan: banyak proyek gagal, kualitas pembangunan buruk, dan dana yang tidak sampai kepada yang seharusnya. Penyebab utamanya? Korupsi dan birokrasi yang menghambat.

Korupsi dan birokrasi Korupsi menjadi masalah utama yang membayangi pengelolaan Dana Desa. Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak 2015 hingga 2024, terdapat lebih dari 900 kasus korupsi terkait Dana Desa yang diungkap, dengan nilai kerugian negara mencapai lebih dari Rp 1,5 triliun. Modus operandi korupsi bervariasi, mulai dari penggelembungan anggaran proyek, proyek fiktif, hingga pemotongan dana oleh aparat desa dan pejabat daerah.

Salah satu kasus yang mencolok di Kabupaten Lampung Timur, Lampung, di mana kepala desa terlibat dalam penggelapan dana desa sebesar Rp 635.565.400 Uang yang seharusnya digunakan untuk membangun fasilitas umum dan kesejahteraan masyarakat, justru masuk ke kantong pribadi Kepala desa.

Selama 6 tahun terakhir telah terjadi 50 perkara tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan desa yang melibatkan 62 terdakwa dengan jumlah kerugian keuangan negara sebesar Rp14.048.499.105,32. Kepala desa masih menjadi salah satu tokoh sentral pelaku utama korupsi, selanjutnya adalah jabatan penjabat (PJ) kepala desa, dan sisanya dilakukan oleh perangkat desa lainnya seperti bendahara desa, sekretaris desa, kaur pembangunan, bendahara BUM Desa, dan pendamping desa.

Masalah korupsi ini diperparah dengan minimnya transparansi dalam pengelolaan dana. Di banyak desa di Lampung, masyarakat tidak memiliki akses yang memadai terhadap informasi penggunaan Dana Desa.

Laporan keuangan desa sering kali tidak dipublikasikan atau hanya dipahami oleh segelintir orang, sehingga pengawasan oleh masyarakat hampir tidak ada. Selain korupsi, birokrasi yang berbelit-belit juga menjadi penghambat besar dalam efektivitas Dana Desa. Banyak desa menghadapi kesulitan dalam proses pencairan dana akibat prosedur administratif yang kompleks dan lambat.

Kepala desa sering kali harus berhadapan dengan berbagai tingkatan birokrasi untuk mendapatkan dana, yang menyebabkan keterlambatan dalam pelaksanaan proyek. Penelitian yang dilakukan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) pada 2023 menunjukkan bahwa sekitar 35 persen dana desa yang dialokasikan setiap tahunnya mengalami keterlambatan pencairan, yang mengakibatkan penundaan dalam proyek-proyek pembangunan.

Selain itu, birokrasi yang rumit juga menyebabkan alokasi dana sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan nyata desa. Perencanaan yang dilakukan lebih berfokus pada kepatuhan prosedural daripada pada kebutuhan masyarakat.

Akibat dari korupsi dan birokrasi yang buruk, banyak proyek yang seharusnya membawa manfaat besar bagi masyarakat desa menjadi tidak efektif. Infrastruktur yang dibangun sering kali berkualitas rendah dan tidak tahan lama, sehingga tidak memberikan dampak jangka panjang yang diharapkan. Misalnya, jalan desa yang dibangun dengan Dana Desa di beberapa daerah sering kali rusak hanya dalam beberapa bulan setelah pembangunannya.

Selain itu, pemberdayaan ekonomi desa yang seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan desa justru tidak optimal. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang didirikan dengan dana desa banyak yang tidak berjalan sesuai harapan, bahkan ada yang hanya menjadi alat untuk kepentingan segelintir elite desa. Masalah ini juga berdampak pada kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Banyak masyarakat desa yang awalnya berharap besar pada program Dana Desa, kini merasa kecewa karena dana yang diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka, justru disalahgunakan atau tidak sampai kepada mereka. Kepercayaan terhadap pemerintah desa dan pusat menurun, yang dapat berimplikasi pada partisipasi masyarakat dalam program-program pembangunan di masa mendatang.

(Saka Ard /tim media Lampung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.