Mulai 1 Januari 2024, kebutuhan pajak pokok (Pajak Pertambahan Nilai atau PPN) tambahan telah dinaikkan sebesar satu persen.
Jika bukan ini pertama kalinya, anak muda generasi Z dan pencinta K-pop banyak turun ke jalan sebagai bagian dari perlawanan terhadap peningkatan PPN dengan alasan yang khas mereka: salah satunya kekhawatiran bahwa harga tiket konser akan meningkat.
Pemogokan pekerja juga berlanjut hingga ke jalan, karena mereka khawatir bahwa kenaikan gaji sebesar 6,5 persen tidak dapat mengatasi inflasi.
Tidak hanya isyarat untuk menyesuaikan, melainkan juga ekspresi sikap tentang kebijakan fiskal yang dianggap membuburkan.
Skenario ini sebenarnya bukanlah hal baru. Konsep hidup ini telah lama dikenal sebagai strategi seseorang untuk mengelola pengeluaran dan mencapai keseimbangan keuangan.
Namun, dalam konteks peningkatan Pajak Pertambahan Nilai, praktik ini tampak lebih sebagai bentuk protes sosial-ekonomi.
Banyak masyarakat percaya bahwa meningkatnya PPN langsung mengarah pada kebutuhan pokok sehari-hari mereka, menurunkan kemampuan belanja, dan menambahkan tekanan tambahan di tengahкономi yang masih belum pulih sepenuhnya dari dampak pandemi.
Meskipun Pajak Penghasilan Negara (PPN) merupakan sumber pendapatan negara yang signifikan, yaitu sekitar 40 persen dari total penerimaan pajak, kebijakan ini memerlukan strategi komunikasi dan implementasi yang matang agar tidak menimbulkan ketegangan sosial.
Bahasa Indonesia: Sebenarnya Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi tantangan ini. Banyak negara lain juga mengadakan Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebagai instrumen fiskal utama.
.
Tidak perlu,jenazah mengeja mengenai kota konurbasi yang nyata mencantumkan alamatkan dan lihat men nogosphate dalam sumbangan tersebut.
Misalnya Jerman, yang memiliki tarif PPN 19%, memberikan diskon pajak tambahan bagi keluarga pendapatan rendah atas PPN yang dinaikkan pada tahun 2007.
Langkah ini menunjukkan kepentingan mendalam dari pendekatan pemerataan dalam pelaksanaan kebijakan pajak yang mempertimbangkan aspek-aspek sensitif.
Tren global
Tapi bagaimana Indonesia ada di situasi seperti apa? Sesuai dengan PPN 12 persen, Indonesia masih di bawah standar rata-rata global.
Tetapi jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, persentase pajak nilai tambah (PNP) di Indonesia cukup tinggi.
Asalnya, sejak pertama kalinya diadopsi pada tahun 1983, tarif PPN di Indonesia hanya sebanyak 10 persen dan tidak mengalami perubahan selama hampir empat dekade.
Stabilitas ini berubah pada era Presiden Joko Widodo, ketika pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 11 persen pada 1 April 2022. Kemudian, kemajuan ini akan diteruskan dengan rencana kenaikan menjadi 12 persen pada tahun 2025.
Perubahan tarif PPN ini meninggalkan Indonesia dengan tarif tertinggi di Asia Tenggara. Sepanjang laporan Worldwide Tax Summaries yang diterbitkan oleh konsultan keuangan global PricewaterhouseCoopers (PwC), beberapa negara lain di kawasan ini akan melanjutkan tarif PPN yang lebih rendah.
Sebagai contoh, Laos dan Kamboja menetapkan pajak dari penjualan sebesar 10 persen, sedangkan Singapura dan Thailand masing-masing mematok tarif 7 persen.
Sementara itu, beberapa negara seperti Brunei Darussalam tidak mengenakan pajak ADMI dalam transaksi domestik, dan Timor Leste hanya memberlakukan tariff sebesar 2,5% untuk barang dan jasa importir.
Di kawasan yang sama, ada beberapa negara dengan taru PPN yang hampir atau sama dengan Indonesia.
Filipina merupakan contoh yang telah lama menerapkan/beban PPN sebesar 12 persen, sementara Vietnam menerapkan sistem dua tingkat dengan tarif PPN 5 persen dan 10 persen tergantung jenis barang atau jasa.
Myanmar, di sisi lain, mulai dengan tarif 5 persen namun dapat meningkat hingga 100 persen untuk beberapa barang atau jasa tertentu.
Dalam konteks ini, penurunan tarif PPN di Indonesia mencerminkan tren global yang berusaha memperluas basis pajak untuk mendukung anggaran negara.
Bahwa struktur ekonomi di Indonesia, di mana sektor informal dan masyarakat berpenghasilan rendah berperan besar, membuat kebijakan ini lebih terasa berat.
Dampaknya justru lebih berat bahkan melebihi negara maju yang memiliki sistem perlindungan sosial yang lebih kuat.
Perlu Lebih Transparan
Jadi untuk menanggapi hal itu, Indonesia harus melakukan langkah-langkah tertentu yang memfokuskan pada kebutuhan masyarakat.
Beberapa langkah perlu diambil, antara lain Pemerintah harus segera meningkatkan transparansi mengenai penggunaan hasil pajak. Salah satu sebab utama di balik reaksi keras terhadap peningkatan PPN adalah keraguan masyarakat tentang kemampuan dana negara untuk digunakan secara efektif.
Jika masyarakat dapat melihat bahwa kenaikan hasil negara sebenarnya digunakan untuk pembangunan fasilitas umum, pendidikan, kesehatan, atau subsidi yang berguna, kemungkinan tingkat menerimaan publik terhadap kebijakan ini akan lebih tinggi.
Contoh kesuksesan transparansi fiskal dapat dilihat di Finlandia, di mana masyarakat dapat memantau anggaran negara secara terbuka, sehingga menciptakan kepercayaan yang kuat antara pemerintah dan warga.
Pemerintah juga harus memberikan bantuan yang menjadikan beban masyarakat kurang berat. Ini bisa berupa percepatan pengurangan pajak penghasilan bagi kelompok tertentu, subsidi langsung untuk kebutuhan pokok, atau program bantuan yang lebih effektif bagi UMKM.
Di India, misalnya, ketika pemerintah memungut pajak tambahan untuk barang-barang konsumsi, mereka secara bersamaan memperkenalkan rancangan bantuan makanan untuk kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah, sehingga berhasil menjaga daya beli dan meningkatkan konsumsi lokal.
Selanjutnya, pemerintah perlu meningkatkan literasi keuangan masyarakat. Penyebaran gaya hidup hemat yang luas tersebut dapat menjadi pemicu untuk menyampaikan program pendidikan keuangan yang lebih menyeluruh.
Daripada hanya berfokus pada penghematan yang paling berlebihan, masyarakat bisa dibimbing untuk mengelola keuangan dengan lebih bijak, seperti berinvestasi, membuat rencana keuangan jangka panjang, atau menggunakan layanan keuangan digital.
Ini tidak hanya akan memberikan bantuan pada individu untuk menghadapi krisis ekonomi, tetapi juga memperkuat sistem ekonomi secara keseluruhan.
Di sisi lain, masyarakat juga perlu menyatakan paham klarifikasi bahwa kenaikan PPN merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meluasnya basis penerimaan pajak dan mendukung terwujudnya pembangunan nasional.
Ya, kritik dan saran atas kebijakan ini masih sangat penting, tetapi harus dilengkapi dengan analisis yang lebih komprehensif.
Dalam contoh yang sama, dengan basis pajak yang lebih besar, pemerintah mempunyai peluang lebih besar untuk menyalurkan dana untuk proyek-proyek yang mendukung kebahagiaan masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur riil, pengembangan energi lestari, dan peningkatan akses pendidikan.
Berikut beberapa sisi positif dari gaya hidup hemat:
Menghemat uang merupakan awal dari kebebasan keuangan. Kebebasan menjadi sangat terkait dengan perilaku kita etis dalam menggunakan uang yang dimiliki.
Terhadap kemampuan kita untuk menilai prioritas finansial yang kita perlukan atau inginkan.
Beberapa orang mengatakan bahwa menghemat uang artinya merasa tidak percaya diri atau berkutat pada diri sendiri. Padahal tidak sepenuhnya benar.
Penting untuk menghadapi tekanan keuangan dengan menghemat sambil tetap bijaksana melakukan penghematan.
Perspektif ini juga menarik. Gaya hidup sederhana dapat mendorong masyarakat untuk lebih selektif dalam membeli barang, mengurangi pemborosan, dan berkontribusi pada pelestarian lingkungan.
Akan tetapi, jika dilakukan secara ekstrem, hal ini dapat memiliki dampak negatif pada perekonomian makro, terutama jika konsumsi domestik sebagai penyeimbang utama belanjaan pemerintah mulai melemah. Oleh karena itu, pendekatan yang seimbang sangat dibutuhkan.
Langkah ke depan, pemerintah bisa menggunakan data dan teknologi untuk paham lebih baik ruti konsumsi masyarakatnya. Dengan begini, keputusan pajak dan insentif ditetapkan dengan tepat sasaran.
Selain itu, perlu ditingkatkan interaksi yang lebih intensif antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat untuk memberikan dukungan ekosistem yang saling mendukung.
Akhirnya, kesuksesan kebijakan fiskal bukan hanya ditentukan oleh data-data di neraca keuangan negara, tetapi juga oleh kepercayaan yang dibangun antara pemerintah dan masyarakat.
Dengan menekankan kejelasan, keikutsertaan, dan pendekatan dengan data, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengelola tantangan ini dengan cara yang bermanfaat.
Bahwa gerakan ini mungkin memulai sebagai bentuk protes, namun dengan pendekatan yang tepat, fenomena ini bisa menjadi katalis perubahan positif dalam pengelolaan ekonomi nasional.