Gaya Hidup Minimalis di Kalangan Mahasiswa Gen Z : Sebenarnya Hanya Menjadi Tren atau Memang Realitas Kehidupan?

oleh -243 Dilihat
oleh

Apa yang muncul dalam pikiran ketika mendengar kata “minimalis”? Tentu saja yang muncul adalah berdasarkan pada prinsip untuk mengurangi dan menghemat hal-hal yang digunakan, khususnya dalam gaya hidup. Pada beberapa tahun terakhir ini, gaya hidup minimalis ini sering menjadi tren dan populer, terutama di kalangan mahasiswa generasi Z. Mereka yang merupakan generasi yang bermain-main dengan kebebasan dan juga merasa nyaman dengan digital pasti bahwa gaya hidup minimalis ini berperan besar dalam perkembangannya. Media sosial menjadi platform yang terbesar membantu mempopulerkan gaya hidup minimalis tersebut, sehingga menjadi trend di kalangan mahasiswa generasi Z. Dahulu, media sosial yang sering digunakan yaitu YouTube, Instagram, TikTok, dan Twitter. Dimana TikTok lah yang menjadi platform utama berperan dalam terjadinya sebuah trend. Lewat video pendek yang unggah kedalam media sosial, atau sering dipanggil tren dengan nama “influencers” orang-orang dapat dengan leluasa disentuh dan melakukan dengan apa yang digunakan oleh mereka. Dengan menjunjung menampilkan kamar kos yang teratur, lemari pakaian yang sederhana, dan gaya hidup yang irit, orang-orang menyebutnya sebagai bagian dari gaya hidup “minimalis”. Oleh sebab itu, dibalik semua ketenaran dan menjadi trend tersebut, pertanyaan besar yakni, apakah sebenarnya tren gaya hidup minimalis tersebut benar-benar mencerminkan gaya hidup mahasiswa generasi Z sehari-hari atau hanya mengikuti apa yang populer atau dengan kata lain hanya “fomo”?

Sekarang ini, anak muda lahir dengan menghadapi tekanan sosial yang tinggi dan tidak pasti. Media sosial menjadi besar peranannya dalam membentuk gaya hidup mereka. Akibatnya, mereka banyak melakukan pembelian berlebihan sebagai perilaku sehari-hari. Gaya hidup minimalis datang sebagai solusi yang menawarkan kelegaanya dengan memiliki segala sesuatu dengan berguna dan sedikit. Banyak selebgram merekomendasikan gaya hidup minimalis dengan menampilkannya dengan praktis, menggunakan tas belanja lingkungan ramah saat berbelanja, serta menggunakan wardobe kantung yang terdiri dari beberapa pakaian dengan warna dan model pakaian yang menitikberatkan ketepatan (melawan tindakan yang berlebihan dalam mengevolusi fashion), sehingga, lazimnya akan membuat pengguna produk mengurangi dan menghindari pembelanjaan pakaian „time sensitive“. Pasti, pesan ini menarik bagi beberapa mahasiswa yang sering merasa tertekan oleh tuntutan baik karena akademik maupun tuntutan sosial.

Beberapa orang hanya mengikuti gaya hidup minimalis dari luar. Mereka membeli barang-barang “minimalis” yang harga murah tapi sebenarnya mahal seperti perabotan esteem, gadget canggih, dan barang lucu, yang hasilnya hanya untuk berpenampilan baik tanpa mempan menjadikan fungsi dan kebutuhan. Dengan demikian, hal itu sebenarnya bertentangan dengan prinsip gaya hidup minimalis. Ada juga sekelompok mahasiswa hanya mengikuti gaya hidup ini karena ingin menunjukkan di media sosial bahwa dia mengikuti tren gaya hidup yang sederhana. Padahal gaya hidup tersebut tidak jadi diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya.

Di satu sisi, gaya hidup ini tidaklah bersumber dari pilihan, melainkan dikarenakan keterbatasan keuangan, yang poin utamanya adalah kebutuhan. Bagi mahasiswa, sejumlah permasalahan keuangan seperti biaya hidup, biaya kuliah, dan sewa tempat tinggal yang mahal律 memaksa mereka untuk mengurangi pengeluaran dan memprioritaskan kebutuhan mendesak. Mereka yang bekerja menjadi mahasiswa sering menjadi korban dari permasalahan ini. Biaya kuliah kemudian menjadikan mereka mesti menguji keterbatuan mereka kepada biaya yang fantastis yang dikeluarkan untuk kelebihan kuliah, sewa tempat, dan kebutuhan sehari-hari.

Berbagai alasan dibalik aksi minimalis yang dilakukan oleh mahasiswa Generasi Z. Ada yang sungguh mengerti makna dari minimalis dan menjadikannya sebagai pedoman hidupnya. Mereka lebih berhati-hati dalam memilih barang-barang yang dibutuhkan dan berfokus pada kualitas hidup. Tetapi, ada juga yang hanya mengikuti tren apa yang terjadi dan melakukannya tanpa mengerti apa makna hidup minimalis.

Tampaknya gaya hidup minimalis di kalangan Gen Z merupakan campuran antara kebutuhan sebenarnya dan tren yang ada di media sosial. Bagi sebagian besar siswa, gaya hidup ini dipilih karena keterbatasan keuangan. Di sisi lain, beberapa siswa lain memilih gaya hidup ini karena mereka ingin mencari kehidupan yang lebih bermakna dan terstruktur. Keturnya dipilih sendiri bergantung pada orang masing-masing.

Agar gaya hidup minimalisme ini tidak hanya menjadi tren sementara yang hilang begitu saja, maka kita sebagai mahasiswa perlu memahami maknanya, yaitu hidup dengan menggunakan barang-barang penting saja dan sesuai dengan kebutuhan kita, tidak meminta estetika barang atau kecantikan, tetapi lebih pada memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, penerapan sifat minimalis ini tidak hanya menjadi gaya hidup, tetapi juga menjadi cara bijak menghadapi tantangan dunia modern.