Hidup perlahan, atau gaya hidup yang menekankan ketenangan, kelaparan sederhana, dan kesadaran, telah menjadi impiannya banyak orang yang ingin lari dari vaserebisasi perkotaan. Konsep ini seolah menjanjikan kebahagiaan melalui hidup yang tenang dan akrab dengan alam. Tapi, apakah kenyataannya selalu seindah itu?
Saya ingin berbagi pengalaman dan pengetahuan pribadi tentang pilihan seseorang yang tadinya ingin meninggalkan Jakarta guna menjalani gaya hidup sederhana (slow living) di kawasan lain.
Dreams of Return: Mencari Kedamaian di Tempat Orang Asli
Saat masih muda, saya sering membayangkan kehidupan yang lebih santai di pedesaan. Bayangkan udara segar, suasana yang tenang, dan masyarakat yang hangat seperti yang saya rasakan saat kecil, baik di Pekanbaru tempat tinggal atau saat berlibur di desa-desa kecil dan pedesaan lainnya.
Pada zaman itu, kehidupan di pedesaan terasa penuh dengan bauran duka, kumpulan dari gotong royong,serta kehangatan bersama keluarga yang saat ini dirasa langka di kota besar. Aku pun memutuskan untuk mencoba pindah dari Jakarta dan menjalani kehidupan alami atau “slow living” di sebuah pinggiran kota kecil.
Tiga bulan pertama adalah masa-masa yang sangat menyenangkan. Saya merasa lebih santai dan bebas dari tekanan kota besar, lalu menemukan ritme hidup yang lebih santai.
Pagi-tepatnya diisi dengan secangkir kopi di teras sambil menikmati pemandangan hijau yang luar biasa. Ketika malam tiba, rumah yang sunyi tampaknya mencharuhi kebisingan keramaian lalu-lintas. Namun, perlahan-lahan, realitas mulai menunjukkan wajah lain dari hidup dengan pola hidup lambat.
Kenyataan yang Tidak Seindah Bayangan.
Setelah tiga bulan, perasaan bosan mulai menghantui. Pola hidup yang monoton dan kurangnya variasi dalam kegiatan membuat saya merasa kehilangan arah dan tujuan.
Saya dulunya terbiasa dengan suasana kota besar, tetapi saya mendapati bahwa adaptasinya tidaklah mudah. Sebaliknya, saya merasa seperti mengalami kemunduran.
Selain itu, suasana hangat dan ramah masyarakat di daerah yang saya bayangkan sekarang tidak sama seperti ketika saya masih anak-anak. Era digital tampaknya telah mengubah cara orang berinteraksi dengan satu sama lain. Kehangatan yang dulu terasa kini digantikan oleh kesibukan individu dengan perangkat elektronik mereka masing-masing. Saya mulai merindukan suasana kota dengan segala kompleksitas dan dinamikanya.
Bisa Baik, saya akan menerjemahkan paragraf tersebut ke dalam Bahasa Indonesia:
Kembali ke Bintaro: Find Keseimbangan Kembali
*Saya ingin tahu tips buat kembali ke Indonesia dan bawa smartphone yang tidak bisa sih pake tapi kita bisa cari hp lainnya yang bisa dijadikan sinyawan nih.*
Beberapa telepon dengan baterai fell undangan dengan lima sinyal daripada tidak ada sama sekali. Rentang permintaannyaiah mengenai *limit *(ketepatan ding* tak perlu ditanya kepada Exodus.*
Saya memutuskan untuk kembali ke Bintaro karena saya merasa lokasi ini menawarkan keseimbangan yang tepat antara gaya hidup lambat dan cepat. Di sana, saya merasa dapat menyesuaikan gaya hidup saya dengan lebih baik sesuai dengan kebutuhan saya.
Saat saya ingin menikmati ketenangan, saya dapat melakukannya dengan mudah. Saya juga dapat kembali ke ritme yang produktif dengan menggunakan fasilitas yang disediakan di kota satelit ini. Jika saya ingin bepergian ke tempat lain, akses transportasi dan fasilitas pendukung juga tersedia.
Bintaro adalah tempat yang tepat bagi saya untuk menciptakan kehidupan yang sempurna. Pada satu sisi, saya dapat menikmati suasana yang tenang dan nyaman di lingkungan yang damai. Di sisi lain, saya tetap bisa terhubung dengan berbagai hal canggih yang menjadikan hidup saya lebih relevan dan maju.
Refleksi: Hidup Lambat Alami Sebagai Gabungan, Bukan Pilihan Isolasi
Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa hidup dengan santai bukanlah tentang mengosongkan kehidupan yang modern atau sibuk sepenuhnya. Sebaliknya, ini adalah tentang mencari keseimbangan yang tepat dalam mencampurkan ketenangan dengan kehidupan yang penuh energi dan dinamika.
Hidup lambat tidak selalu berarti pindah ke daerah terpencil atau melakukan semua hal lambat. Ini lebih tentang cara kamu memilih untuk melembutkan ritme hidup di tengah aktivitas yang sibuk, menjaga kesadaran, dan menikmati momen-momen kecil.
Efektifitas pengaplikasian hidup lambat memang memiliki tantangan, seperti rasa jenuh, keterbatasan akses, atau rasa terisolasi. Namun, dengan pendekatan yang tepat, hidup lambat bisa diintegrasikan dalam kehidupan modern tanpa mengulangi pengorbanan produktivitas atau koneksi.
Penutup
Mungkin gaya hidup lambat berkembang sebagai pilihan langsung bagi orang-orang tertentu, tapi bukan karena itu akan selalu relevan di setiap keadaan atau sisi kehidupan. Seperti yang saya rasakan sendiri, konsep ini sebenarnya hanya sudah membawa kebahagiaan singkat jika diterapkan tanpa memahami mendalam apa kebutuhan dan prioritas kita.
Pada akhirnya, yang paling penting adalah menemukan ritme kehidupan yang sesuai dengan diri sendiri, baik itu kehidupan santai (slow living), kehidupan cepat (fast living), atau kombinasi keduanya.
Apakah Anda pernah mencoba gaya hidup santai? Ber Antaranya apa impression Anda? Sila ajak untuk saling berbagi pengalaman dan refleksi tentang cara hidup seperti ini.
Penulis: Merza Gamal (Penggarap Acara Gaul yang Pensiun)