Sahrin, Wanita Penjual Kenari yang Mampu Sarjanakan 7 Anaknya

oleh -11 Dilihat
oleh

Pagi itu, cuaca di Pasar Higienis Bahari Berkesan, Kota Ternate sedikit mendung itu. Sahrin mengatur rapi kayu kenari kering di atas wadah berukuran sedang di depan pasar.

Dia tampak benar-benar sabar menantikan pembeli, di tengah kerumunan pengguna jalan yang melintas di sekitarnya.

Seorang perempuan asal Desa Dum-Dum, Halmahera Utara ini mengaku telah berjualan buah kenari selama lebih dari 20 tahun di Kota Ternate.

Dia berhasil menyekolahkan lima anak kandung dan empat anak tiri dengan harga diri yang tinggi sendiri dengan meraih gelar sarjana, yakni tujuh orang ditambah.


Baca juga:

Sebelum menjual kacang kenari, dia mengembara menjual ikan teri yang diperoleh di Desa Tabanoma, kemudian dijual di Galela dan Tobelo, Halmahera Utara.

Dia melakoni pekerjaannya sebagai jalannya untuk mencukupi keperluan sehari-harinya, juga untuk biaya sekolah ketiga putranya. Keadaannya semakin berat setelah sang suami meninggal dunia pada tahun 1991 karena sebuah kecelakaan mobil.

Saya menikah dengan suami pertama pada tahun 1980. Tahun 1991, suami saya meninggal akibat terlibat kecelakaan di Panta Kapal saat mereka berbarengan menuju Sidangoli dari Malifut. Pada saat itu, tiga anak saya masih kecil, termasuk sang putra kedua yang masih belum bisa berjalan.

Beberapa tahun kemudian, Sahrin menikah dengan seorang pria dan menjadi perempuan ketiga.

Tetapi, situasinya belum membaik. Penjualan ikan teri keliling pun dihentikan karena konflik vertikal yang terjadi pada tahun 1998-1999 di Maluku Utara.


Baca juga:

Ia mengingat dengan jelas, terpaksa memohon makan dan berlari ke desa ayahnya yang terletak di Kabupaten Halmahera Selatan, kemudian membawa tiga putranya menyusul.

Sedangkan suaminya, membawa empat anak dari pernikahan sebelumnya.

Dari akhir pernikahan keduanya, Sahrin melahirkan dua orang anak. Saat ini, semua anaknya yang ada sudah berjumlah sembilan orang, yaitu lima orang anak kandung dan empat orang tiri.

Setelah konflik antar keluarga, Sahrin dan suaminya harus mempertimbangkan kembali rencana pendidikan anak-anak mereka.

Saat itu, di desa tidak ada kehidupan yang stabil. Mereka berusaha mencari keberuntungan dengan melipir ke pusat kota, Ternate.

Di Kota Ternate, Sahrin membantu ekonomi keluarganya dan kembali berdagang keliling. Tak seperti dahulu saat menjual ikan teri, kemarin dia menjual halua diperahunkan keliling.

Halua adalah makanan manisan khas Maluku Utara, terbuat dari hyme (atau kenari) yang diberi karamel.

Sesudah enam tahun, suaminya akhirnya tewas karena penyakit. Sahrin, kembali menjadi orangtua satu-satunya, dan berjuang untuk sembilan orang anaknya.

Saya pernah menikah lagi dan memiliki dua orang anak dengan melakukan pernikahan kedua.

Seorang wanita berusia 57 tahun harus segera mengambil alih tanggung jawab penyediaan kebutuhan keluarganya setelah suaminya.

Ibu menjual kacang camban di Kota Ternate hingga ke Kota Tidore. Alasannya untuk memberi makan dan melanjutkan pendidikan sembilan orang anaknya.


Baca juga:

Saat itu, kata dia, harga kelapa gila-only pada saat itu tidak dihargai lebih daripada Rp 1.000 per bungkus. Kadang-kadang ia pulang ke rumah membawa uang Rp 100-300 ribu saja.

Tunggu deh, ternyata uang hasil jualan bukan hanya untuk kebutuhan sehari-hari.

Karena anak kandung dan anak tiri mereka berusia setara. Sampai saat-saat ujian sekolah pun mereka berdua mengikuti pahitnya tes pada waktu yang sama. Baiklah, biaya yang dibutuhkan pun menjadi ganda.

Saya merasa sangat lalu lintas saat melewati perkuliahanku dan semester baru saja dimulai.

“Saya telah menabung sedikit demi sedikit sejak lama yang lalu. Harus ada tabungan, jangan sampai mereka meminta uang tapi saya tidak punya,” kata Sahrin.

Saat anak bungsunya masuk kuliah, Sahrin merasa momen itu tepat untuk mengubah jalur bisnisnya. Ia memutuskan untuk berhenti berjualan keliling dan memulai usaha di pasar tradisional.

“Saya menjual di pasar sekitar 10 tahun lalu. Awalnya, Saya menjual di depan bandara pagi hari dan kemudian di depan apotek siang hari. Namun, saat kapal Pelni berlabuh, saya menjual di pelabuhan,” kata Sahrin.

Sahrin juga menambah variasi produknya yang dijual di pasar, yaitu kacang goreng dan cabai rawit.

“Saya menjual kacang goreng dan cabai rawit hanya tambahan saja. Yang utama saya menjual buah kenari kering dan halua,” kata Sahrin.

Kini, kenari panjang panjang di jual dengan harga Rp 5.000 per paket. Sementara itu, kenari bulat yang berisi lima dijual dengan harga Rp 10.000 per paket.

Harga besar adalah Rp 30 ribu dan harga cup kecil adalah Rp 10 ribu.

Bahan baku berupa buah kenari dengan kualitas unggulan didapatkan dari Pulau Makian, dan ditakdirkan hanya dengan modal kepercayaan dari para petani kenari.


Baca juga:

“Lidah ini merupakan aset utamanya, jadi bisa dipercaya orang kita. Jadi kita sangat menjaga kepercayaan masyarakat. Seringnya, kapling sudah siap dibeli seharga 50-60 kilogram. Belum membayar, kita terlebih dahulu menjual habis baru disimpan.”

“Selalu saya berusaha menjaga keberadaan modal agar saya bisa terus berjualan. Keuntungan itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, namun modal harus tetap ada. Supaya bisnis bisa terus beroperasikan,” ujar Sahrin.

Anak-anak jadi sarjana

Sementara sibuk menjalankan usaha Tato (berjualan), ia tidak pernah melupakan pentingnya menginspirasi dan meningkatkan kepercayaan diri sembilan anaknya agar tidak perlu merasa malu bahkan tanpa adanya ayah.

Dan kebiasaan baik itu turut menanamkan kesadaran pada diri mereka sendiri. Meskipun tidak perlu diminta, setiap mereka pulang sekolah selalu membantu mengolah kenari menjadi haluah.

Saya pemikirkan terus, mengapa mama sering diremehkan orang. Sepertinya, orang dilaporkan tidak percaya penampilan mestinya.

Ya, tidak ada yang mengatakan sesuatu yang demikian. Saya mengatakan hal itu dengan tujuan untuk meninggalkan motivasi kepada mereka.

“Agar mereka gembira untuk menimba ilmu di sekolah. Karena peraturan saya, kalau sekadar melintang dari desa tanpa anak-anaknya sekolah itu malu,” kata Sahrin.


Baca juga:

Dari sembilan orang anaknya, tujuh orang telah berhasil menyelesaikan gelar sarjana, sementara hanya dua di antaranya lebih tidak lulus dalam mencapai pendidikan tinggi.

Dari jumlah itu, seorang anak kandung memutuskan untuk berhenti mengikuti kuliahnya di semester ketujuh dan memilih untuk bekerja untuk mendukung keuangan keluarganya.

Sungguh, kemudian dijawabnya bahwa ia memutuskan salah satu anak sambungnya untuk menjalani sekolah menengah, dan setelah lulus, mengembangkan harganya di desa untuk menggarap ladang. Sudah memiliki keluarga dan istri yang merupakan bidan.

Bila seseorang tidak tahu, mereka menganggap mereka semua anak diri sendiri. karena saya menghandirkanyan sama.

Lulusan baru tujuh orang. Salju ada satu yang terus menjadi dosen, ada yang lainnya melanjutkan S3,” kata dia dengan bangga.

“Sisanya yang masih mengajar, ada yang duduk di gede, ada juga yang honorer. Terakhir, saya paling muda di rumah ini, saya punya tugas untuk menyelesaikan belajar ya,” sambungnya.

Sahran bertepuk tangan pada hari itu, karena semua anak-anaknya telah menyelesaikan pendidikannya.

Bahkan, beberapa lainnya sudah menikah dengan baik. Namun, ia masih belum bertekad untuk memutuskan mencoba berhenti menjajakan halua dan buah kenari kering di pasar.


Baca juga:

Sahrin yang dibantu oleh menantunya perempuan tetap menjual makanan. Dia menyatakan bahwa dia hanya beristirahat menjual makanan saat sakit atau ada perayaan keluarga.

Ia masih ingin mendorong dan melihat generasinya selanjutnya berhasil dalam menempuh pendidikan.

“Allah telah memberikan rejeki, telah dilakukan uji. Yang penting adalah sabar dan ikhlas, tidak peduli dia mampu atau tidak. Sebagian anak-anak juga sudah menikah dengan baik. Hasil kenaripun sudah bisa membangun rumah di Kota Ternate.”

“Meskipun adik-adik sudah selesai sekolah. Aku tetap akan menjual. Karena aku tidak bisa tidur diam di rumah, harus ada sibuk hal untuk dilakukan. Jika menjual bisa dapat uang.”

“Saya mentrashih cucu-k cucu kecil saya dari anak-anak untuk bisa berkontribusi dan belajar bekerja sama,” kata Sahrin.